Jumat, 23 Mei 2014

PROSA DAN PUISI


UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH PENGKAJIAN PUISI
Dosen Pengampu : Wiekandini Dyah Pandanwangi


Disusun Oleh :
Purnama Okto Vinali
F1G012019


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2014

 PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya dengan media bahasa, yang mengandung nilai estetika, berguna dan menyenangkan, serta bersifat imajinatif. Sastra terbagi menjadi tiga, yakni ilmu sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ilmu sastra berisi mengenai manfaat, hakikat, serta genre sastra. Sejarah sastra meliputi periodisasi, waktu dimulainya karya sastra, serta wacana atau gagasan yang pernah muncul, dan sebagainya. Kritik sastra meliputi tahap penafsiran (interpretative), pembahasan (analysis), kemudian tahap penilaian (evaluatif).
Genre sastra terdiri atas prosa, puisi, dan drama. Prosa merupakan jenis tulisan yang digunakan untuk menyatakan fakta atau ide, sedangkan puisi merupakan seni tulis dengan menggunakan bahasa sebagai penambah kualitas estetiknya. Drama sendiri berarti karya sastra yang memiliki kemungkinan atau potensi untuk menjadi sebuah pertunjukan karena di dalamnya terdapat dialog-dialog dari tokoh.
Karya sastra itu terdiri atas susunan struktur, sehingga puisi merupakan struktur yang tersusun dari berbagai macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata (Pradopo, :14).
Menganalisis puisi memang tak mudah, karena puisi bersifat subjektif. Oleh sebab itu, perlu pemahaman lebih terhadap penganalisisan puisi. Penganalisisan terhadap puisi Taufik Ismail dilakukan karena sedikit sekali peneliti yang telah menganalisis puisi, terutama puisi-puisi karya Taufik Ismail. Padahal, puisi karya Taufik Ismail masih menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca awam untuk mendapatkan makna di balik puisi-puisinya. Tidak seperti puisi W.S. Rendra yang cenderung menggunakan bahasa konotatif yang cukup “berat” untuk dipahami oleh pembaca awam atau pun pembaca ahli.
B.  Pendekatan
Dalam menganalisis suatu bentuk karya sastra, cara pandang atau pendekatan yang digunakan oleh penulis dilakukan sebagai tahap awal untuk penelitian yang lebih lanjut. Hal ini penting dilakukan karena pendekatan yang dilakukan menjadi landasan penulis dalam menganalisis karya sastra.
Untuk menganalisis puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail, penulis menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Penulis menggunakan pendekatan struktural karena penulis akan menganalisis puisi berdasarkan strata normanya.

C.  Perumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian puisi menurut para ahlli!
2.      Jelaskan perbedaan antara prosa dengan puisi!
3.      Analisis lah lapis norma menurut Roman Ingarden pada puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail!

D.  Tujuan
1.      Menjelaskan beberapa pengertian puisi menurut para ahli.
2.      Menjelaskan perbedaan antara prosa dan puisi.
3.      Mendeskripsikan lapis norma Ingarden pada puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail.




PEMBAHASAN
A.  Pengertian Puisi
Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Sebagai salah satu genre sastra, puisi memiliki kekhasan tersendiri yakni penggunaan bahasanya yang tidak seperti bahasa percakapan sehari-hari (bahasa tingkat satu), namun menggunakan bahasa tingkat dua (konotatif).
Banyak sekali pengertian puisi yang didefinisikan oleh para ahli, seperti menurut Arthur Asa Berger dalam bukunya “Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer” mengungkapkan bahwa puisi merupakan susunan dalam bentuk yang lebih khusus, setiap baris puisi biasanya diberi identitasnya sendiri-sendiri (Berger, 2010: 121). Jika kita membaca buku dan melihat sebuah tulisan dengan tata letak yang berbeda, kita akan langsung menyebutnya puisi, karena ini adalah ciri khas puisi. Penulisan puisi tidak akan ditulis rata seperti prosa pada umumnya. Dalam hal ini, Berger memberikan contoh sebuah puisi yang berjudul “Frisbee”.
Jika penulisan puisi “Frisbee” ini ditulis dalam bentuk prosa, maka tidak akan terlihat puisi. Berikut sajaknya: Saya bertanya Matahari Neptunis, Pluto – Kenapa engkau menempatkan Merkurius di tempat Uranis?- Dia tidak menjawab saya. Jika diamati dengan benar, maka hal ini akan membingungkan pembaca karena tidak tau maksudnya apa? Namun, jika tulisan tersebut ditata sedemikian rupa dalam penulisannya, maka pembaca pasti akan tahu bahwa ini adalah sebuah puisi. Berikut penulisannya yang sesuai dengan bentuk penulisan untuk puisi.

Frisbee
Saya bertanya
Matahari Neptunis
Pluto
Kenapa engkau menempatkan
Merkurius di tempat Uranis
Dia tidak
menjawab saya.
A.A.B


Berger mengatakan bahwa puisi sebagai suatu tanda, karena seni penyusunan huruf dalam puisi merupakan tanda bagi para pembaca untuk mengenalinya sebagai puisi. Tanpa membaca isinya atau gaya bahasanya, pembaca sudah mengetahui bahwa itu merupakan puisi, dilihat dari bentuknya.
Menurut Rachmat Joko Pradopo, puisi merupakan sebuah karya seni sastra yang dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya (Pradopo, 2012: 3). Puisi dapat dikaji dari berbagai bermacam-macam aspek karena puisi terdiri atas struktur yang kompleks dan sarana-sarana kepuitisan. Karena itu, puisi dapat dikaji dari segi jenis-jenis puisinya, keanekaragamannya, serta sejarahnya.
Banyak sekali masyarakat awam yang belum memahami apa itu puisi. Apalagi puisi sekarang tidak terikat oleh rima dan irama seperti puisi dahulu. Puisi dan prosa, kini kita sulit membedakan antara keduanya. Ada puisi yang mirip dengan prosa. Namun ada pula prosa yang berbentuk seperti puisi. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen milik Eddy D. Iskandar berikut.
Air Selokan
“ Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit”, katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
+
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lahi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
(Perahu Kertas, 1983: 18)
Dan di bawah ini merupakan cerpen Eddy D. Iskandar.
Nah
Nah, karena sesuatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai sesepuh.
(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka pada uang kotor dan perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).

(Horison, Th.XI, Juni 1976: 185)

Jika dilihat dari segi bentuknya, sajak “Air Selokan” dan cerpen “Nah” tidak ada bedanya. Bahkan mungkin ada yang mengatakan kalau “Nah” itu merupakan sajak atau puisi. Melihat contoh di atas, puisi dan prosa hampir tidak ada perbedaan. Dari sini, kepekaan pembaca terhadap karya sastra lah yang menentukan makna dari karya sastra tersebut.
Ada lagi pengertian puisi menurut Wirjosoedarmo. Di SMA, puisi biasa didefinisikan sebagai karangan yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk karangan bebas (Pradopo, 2012: 5). Menurut Wirjosoedarmo, puisi merupakan karangan yang terikat oleh banyaknya baris dalam tiap bait, banyaknya kata dalam setiap baris, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan rima, serta irama. Namun pengertian puisi menurut Wirjosoedarmo, kini sudah tidak berlaku lagi. Karena karya sastra (dalam hal ini puisi) telah mengalami perkembangan yang sesuai dengan selera pembaca.
Berikutnya pengertian puisi menurut Shelly. Menurut Shelly, puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Peristiwa-peristiwa yang menjadi rekaman detik-detik yang paling indah tidak hanya yang membahagiakan, tetapi juga yang mengharukan seperti kematian orang-orang yang kita cintai.
Dari semua pengertian puisi menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan karya sastra yang memiliki nilai estetika dalam setiap isinya, dan puisi merupakan pengalaman yang dirasakan oleh pengarang dalam kehidupannya.

B.  Perbedaan Puisi dengan Prosa
Puisi dan prosa, sama-sama bagian dari genre sastra. Namun demikian, puisi dan prosa memiliki banyak perbedaan. Prosa merupakan karya sastra yang membentuk cerita bebas, serta tidak terikat oleh rima, sedangkan puisi merupakan genre sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan irama, serta penysunannya dalam baris dan bait.
Perbedaan puisi dan prosa terdapat pada bentuknya. Puisi memiliki bentuk yang lebih padat jika dibandingkan dengan prosa. Hal ini dikarenakan puisi hanya terdiri atas beberapa bait saja namun sudah mencakup isi dari tema yang diambil. Tidak seperti prosa yang menggunakan berbagai macam penjelasan panjang serta terdiri atas banyak kalimat yang jika ditulis bisa mencapai berlembar-lembar.
Selain itu, puisi menggunakan bahasa tingkat kedua atau bahasa yang bermakna konotatif. Karena dalam puisi, bahasa yang digunakan bukan lah bahasa percakapan sehari-hari. Bahasa yang digunakan dalam puisi bisa memiliki makna yang berbeda dari makna aslinya dalam bahasa percakapan sehari-hari. Misalnya kata “menari” dalam potongan puisi Toto Sudarto Bachtiar “Pusat” yang berbunyi Kata-kata yang bersayap bisa menari. Dalam hal ini, kata “menari” biasanya digunakan oleh manusia yang menggerakan anggota tubuhnya sesuai dengan bunyi atau musik yang mengiringinya. Selain itu, kata “bersayap” juga biasanya digunakan kepada binatang yang memiliki kemampuan untuk terbang. Namun dalam penggalan puisi di atas, kata “menari” diberikan kepada “kata-kata yang bersayap”, sedangkan “kata-kata” merupakan benda abstrak yang dalam realitanya tidak memiliki sayap, apalagi bisa menari.
Ini lah yang dimaksud dengan puisi menggunakan bahasa tingkat kedua yang bermakna konotatif, bukan bahasa tingkat pertama yang bermakna denotatif. Puisi memiliki nilai estetika serta mengandung unsur-unsur kepuitisan. Ada lagi perbedaan puisi dengan prosa, yakni dari segi isinya. Puisi memiliki berbagai macam penafsiran, tergantung pada pola pikir sang pembaca. Dalam hal ini, isi puisi bersifat multitafsir, sedangkan isi prosa lebih bersifat lugas dan jelas karena banyak penggambaran yang terperinci dari setiap pokok kalimat.
Ada pula yang mengatakan bahwa prosa dan puisi itu ibarat orang berjalan dan menari. Prosa seperti orang berjalan karena pembawaannya datar atau biasa saja, sedangkan puisi seperti orang menari karena pembawaannya yang lemah lembut atau bisa juga dengan gerak cepat namun masih menggunakan gerakan-gerakan yang indah. Atau dapat pula mengumpamakan prosa seperti orang yang berbicara karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa sehari-hari yang tidak terikat oleh irama dan rima, sedangkan puisi seperti orang bernyanyi karena ada penjedaan, kata yang dibaca dengan nada tinggi atau rendah, serta terikat oleh rima dan irama yang menambah nilai estetika puisi.
Puisi pada umumnya merupakan pengalaman pribadi pengarang atau curahan hati pengarang terhadap apa yang tengah dirasakannya, agar semua orang merasakan apa yang tengah dirasakan oleh pengarang. Hal ini berarti puisi menggunakan ekspresi kreatif, yakni pengalaman yang dilahirkan oleh pengarang diekspresikan dengan menggunakan media bahasa yang indah, serta mengandung nila-nilai keindahan atau estetika. Di samping itu, prosa sendiri menggunakan metode ekspresi konstruktif yang berarti bahwa pengalaman yang dilahirkan oleh pengarang diekspresikan dengan menggunakan media bahasa juga, tetapi dengan gaya bahasa yang biasa sesuai dengan bahasa sehari-hari dan disusun dengan menggunakan plot atau alur cerita.

C.  Analisis Puisi “Kerendahan Hati” Karya Taufik Ismail
Berikut adalah puisi karya Taufik Ismail yang berjudul “Kerendahan Hati”.

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
Rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Taufik Ismail
            Puisi seharusnya dipahami sebagai struktur norma, karena karya sastra terutama puisi tidak hanya terdiri atas satu lapis norma saja, tetapi terdiri atas beberapa lapis norma. Dalam bukunya, Rene Wellek menyatakan bahwa lapis norma dalam karya sastra ada tiga, yakni lapis bunyi, lapis arti, dan lapis dunia pengarang. Namun, Roman Ingarden menambahkan dua lapis norma lagi yang membentuk karya sastra, yakni lapis dunia dan lapis metafisis. Berikut adalah lapis norma Ingarden dalam puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail.
1.        Lapis Bunyi (Sound Stratum)
Lapis bunyi (sound stratum) merupakan lapis pertama dalam karya sastra. Lapis bunyi digambarkan saat kita mendengarkan seseorang untuk membaca puisi. Hal yang didengar oleh kita adalah rangkaian bunyi yang dapat dibatasi oleh penjedaan, nada panjang atau pendek. Semua satuan bunyi dan kesesuaian bunyi yang diucapkan sesuai dengan konvensi bahasa tertentu (dalam hal ini bahasa Indonesia) yang disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan arti merupakan hal yang terdapat dalam lapis bunyi.
Dalam puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail ini, lapis bunyi yang digunakan adalah aliterasi dan asonansi. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi, sedangkan asonansi merupakan perulangan bunyi vokal dalam deretan kata. Aliterasi yang digunakan adalah bunyi konsonan K, M, L, T, J, N, D dan R, sedangkan asonansi yang digunakan adalah bunyi vokal A, I dan U.
Penggunaan bunyi konsonan K, terdapat pada baris pertama pada bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, baris pertama pada bait ke dua yang berbunyi Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, baris pertama pada bait ke tiga yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, baris kedua pada bait keempat yang berbunyi Tentu harus ada awak kapalnya, baris ketiga pada bait keempat yang berbunyi Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi.
Penggunaan bunyi konsonan M, terdapat pada baris pertama pada bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, baris keempat bait ketiga yang berbunyi Membawa orang ke mata air. Penggunaan bunyi konsonan L terdapat pada baris ketiga bait pertama yang berbunyi Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, dan baris kedua bait ketiga yang berbunyi Jadilah saja jalan kecil.
Penggunaan bunyi konsonan T terdapat pada baris kedua bait pertama yang berbunyi Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang, dan baris kedua bait kedua yang berbunyi Yang tegak di puncak bukit. Penggunaan bunyi konsonan J terdapat pada baris kedua bait ketiga yang berbunyi Jadilah saja jalan kecil.. Penggunaan bunyi konsonan N terdapat pada baris ketiga bait kedua yang berbunyi Memperkuat tanggul pinggiran jalan. Penggunaan bunyi konsonan D terdapat pada baris pertama bait keempat yang berbunyi Tidaklah semua menjadi kapten. Dan penggunaan bunyi konsonan R terdapat pada baris keenam bait keempat yang berbunyi Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.
Penggunaan bunyi vokal A terdapat pada baris pertama bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, baris pertama bait kedua yang berbunyi Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, dan baris kedua bait kedua yang berbunyi Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang. Penggunaan bunyi vokal I terdapat pada baris ketiga bait pertama yang berbunyi Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, dan baris keenam bait keempat yang berbunyi Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri. Penggunaan bunyi vokal U terdapat pada baris pertama pada bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, dan baris pertama bait kedua yang berbunyi Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar.

2.        Lapis Arti (Units of Meaning)
Lapis arti (units of meaning) merupakan gabungan dari satuan yang terkecil hingga yang terbesar yang bergabung menjadi sebuah cerita. Dalam bait pertama puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail berisi mengenai nasihat akan kemampuan seseorang yang tidak bisa menjadi seperti pohon beringin yang tegak di puncak bukit atau hidup dengan menjadi seorang pemimpin. Bait kedua berisi mengenai jika kita tidak bisa menjadi seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, kita bisa menjadi diri kita sendiri yang berguna bagi orang lain. Bait ketiga memiliki arti bahwa kita bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain meski kita tidak memiliki sesuatu untuk bisa diberikan, sedangkan bait keempat memiliki arti bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. Karena jika ada pemimpin, maka harus ada yang dipimpin. Yang menjadikan diri kita bermartabat bukan lah besar kecilnya tugas yang kita lakukan, tetapi menjadikan diri kita bermanfaat untuk orang lain.

3.        Lapis Dunia Pengarang
Lapis ketiga berisi mengenai objek-objek yang dikemukakan dalam puisi, pelaku, latar, dan dunia pengarang. Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail ini adalah beringin, belukar, rumput, jalan raya, jalan setapak, kapten, awak kapal dan dirimu. Pelaku atau tokohnya adalah kamu atau engkau. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang (Pradopo, 2012: 18). Lapis dunia pengarang dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail adalah sebagai berikut.
Kamu seharusnya memiliki kerendahan hati. Meskipun kamu tidak bisa menjadi seorang pemimpin, namun kamu masih bisa menjadi anak buah atau pegawai yang bekerja dengan maksimal dan membawa manfaat bagi semua orang. Tidak perlu lah kamu berangan-angan untuk menjadi orang yang memiliki kedudukan tinggi, cukup kamu jalani apa yang sedang menjadi milik kamu. Karena yang terpenting adalah bukan menjadi seperti orang lain, tetapi menjadi diri sendiri yang membawa manfaat bagi orang lain.

4.        Lapis Dunia
Lapis dunia yang tampak dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail adalah sebagai berikut.
Jika kamu tidak bisa menjadi orang besar yang memiliki kedudukan tinggi, jadilah orang biasa yang baik. Jika kamu tidak bisa menjadi orang biasa yang baik, kamu bisa menjadi orang yang melindungi orang-orang yang kamu sayang. Jika kamu tak bisa mempunyai banyak teman, kamu bisa berteman dengan seseorang yang bisa kamu ajak menuju jalan kebaikan. Tidak bisa semua orang menjadi pemimpin, karena harus ada anak buahnya. Yang menentukan kualitas diri kita bukan lah tinggi rendahnya kedudukan kita di masyarakat tetapi kemampuan kita untuk menjaid pribadi yang rendah hati dan baik hati.

5.        Lapis Metafisis
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Pradopo, 2012: 19). Dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail ini, lapis metafisisnya berupa sifat manusia yang jarang bersyukur, karena masih menginginkan kedudukan yang lebih tinggi lagi agar bisa menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat. Padahal jika kita menjadi diri sendiri dan mengoptimalkan usaha kita untuk menjadi bermanfaat di masyarakat bisa kita lakukan tanpa harus menjadi orang yang memiliki kedudukan tinggi. Seringkali manusia melalaikan tugasnya dan tidak bersyukur atas apa yang telah dimilikinya. Sajak ini mengingatkan kita untuk bersikap rendah hati, selalu bersyukur dan menjalani peran kita di masyarakat dengan sebaik-baiknya.

PENUTUP

Simpulan
Puisi merupakan merupakan karya sastra yang memiliki nilai estetika dalam setiap isinya, dan puisi merupakan pengalaman yang dirasakan oleh pengarang dalam kehidupannya. Prosa dan puisi memiliki perbedaan, meskipun sekarang puisi dan prosa cukup sulit untuk dibedakan. Perbedaan prosa dan puisi adalah jika prosa seperti orang berjalan karena pembawaannya datar atau biasa saja, sedangkan puisi seperti orang menari karena pembawaannya yang lemah lembut atau bisa juga dengan gerak cepat namun masih menggunakan gerakan-gerakan yang indah. Atau dapat pula mengumpamakan prosa seperti orang yang berbicara karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa sehari-hari yang tidak terikat oleh irama dan rima, sedangkan puisi seperti orang bernyanyi karena ada penjedaan, kata yang dibaca dengan nada tinggi atau rendah, serta terikat oleh rima dan irama yang menambah nilai estetika puisi.
Lapis norma pertama Roman Ingarden tentang puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail adalah lapis bunyi aliterasi dan asonansi. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi, sedangkan asonansi merupakan perulangan bunyi vokal dalam deretan kata. Aliterasi yang digunakan adalah bunyi konsonan K, M, L, T, J, N, D dan R, sedangkan asonansi yang digunakan adalah bunyi vokal A, I dan U.
Lapis keduanya berisi mengenai nasihat akan kemampuan seseorang yang tidak bisa menjadi seperti pohon beringin yang tegak di puncak bukit atau hidup dengan menjadi seorang pemimpin. Bait kedua berisi mengenai jika kita tidak bisa menjadi seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, kita bisa menjadi diri kita sendiri yang berguna bagi orang lain. Bait ketiga memiliki arti bahwa kita bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain meski kita tidak memiliki sesuatu untuk bisa diberikan, sedangkan bait keempat memiliki arti bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. Karena jika ada pemimpin, maka harus ada yang dipimpin. Yang menjadikan diri kita bermartabat bukan lah besar kecilnya tugas yang kita lakukan, tetapi menjadikan diri kita bermanfaat untuk orang lain.
Lapis ketiga berisi mengenai objek-objek yang dikemukakan seperti beringin, belukar, rumput, jalan raya, jalan setapak, kapten, awak kapal dan dirimu. Pelaku atau tokohnya adalah kamu atau engkau, sedangkan lapis keempat berisi mengenai lapis dunia yang tampak secara implisit, yakni tidak mungkin bisa semua orang menjadi pemimpin, karena harus ada anak buahnya. Yang menentukan kualitas diri kita bukan lah tinggi rendahnya kedudukan kita di masyarakat tetapi kemampuan kita untuk menjaid pribadi yang rendah hati dan baik hati. Lapis kelima berisi mengenai sifat manusia yang jarang bersyukur, karena masih menginginkan kedudukan yang lebih tinggi lagi agar bisa menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo, Rahmat. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Asa Berger, Arthur. 2010. Pengantar Semiotika – Tanda-tanda dalam Kebudayaan Temporer. Yogyakarta: Tiara Wacana



Tidak ada komentar:

Posting Komentar