Kamis, 25 September 2014

lapis norma Roman Ingarden

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH PENGKAJIAN PUISI
Dosen Pengampu : Wiekandini Dyah Pandanwangi, M.Hum



Disusun Oleh :
Purnama Okto Vinali
F1G012019


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2014



DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... i
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................................. 1
B.     Pendekatan................................................................................................................. 1
C.     Perumusan Masalah.................................................................................................... 2
D.    Tujuan......................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Puisi.......................................................................................................... 3
B.     Perbedaan Puisi dengan Prosa.................................................................................... 5
C.     Analisis Puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail.............................................. 7
PENUTUP
       Simpulan........................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 13

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya dengan media bahasa, yang mengandung nilai estetika, berguna dan menyenangkan, serta bersifat imajinatif. Sastra terbagi menjadi tiga, yakni ilmu sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ilmu sastra berisi mengenai manfaat, hakikat, serta genre sastra. Sejarah sastra meliputi periodisasi, waktu dimulainya karya sastra, serta wacana atau gagasan yang pernah muncul, dan sebagainya. Kritik sastra meliputi tahap penafsiran (interpretative), pembahasan (analysis), kemudian tahap penilaian (evaluatif).
Genre sastra terdiri atas prosa, puisi, dan drama. Prosa merupakan jenis tulisan yang digunakan untuk menyatakan fakta atau ide, sedangkan puisi merupakan seni tulis dengan menggunakan bahasa sebagai penambah kualitas estetiknya. Drama sendiri berarti karya sastra yang memiliki kemungkinan atau potensi untuk menjadi sebuah pertunjukan karena di dalamnya terdapat dialog-dialog dari tokoh.
Karya sastra itu terdiri atas susunan struktur, sehingga puisi merupakan struktur yang tersusun dari berbagai macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata (Pradopo, :14).
Menganalisis puisi memang tak mudah, karena puisi bersifat subjektif. Oleh sebab itu, perlu pemahaman lebih terhadap penganalisisan puisi. Penganalisisan terhadap puisi Taufik Ismail dilakukan karena sedikit sekali peneliti yang telah menganalisis puisi, terutama puisi-puisi karya Taufik Ismail. Padahal, puisi karya Taufik Ismail masih menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca awam untuk mendapatkan makna di balik puisi-puisinya. Tidak seperti puisi W.S. Rendra yang cenderung menggunakan bahasa konotatif yang cukup “berat” untuk dipahami oleh pembaca awam atau pun pembaca ahli.
B.  Pendekatan
Dalam menganalisis suatu bentuk karya sastra, cara pandang atau pendekatan yang digunakan oleh penulis dilakukan sebagai tahap awal untuk penelitian yang lebih lanjut. Hal ini penting dilakukan karena pendekatan yang dilakukan menjadi landasan penulis dalam menganalisis karya sastra.
Untuk menganalisis puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail, penulis menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Penulis menggunakan pendekatan struktural karena penulis akan menganalisis puisi berdasarkan strata normanya.

C.  Perumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian puisi menurut para ahlli!
2.      Jelaskan perbedaan antara prosa dengan puisi!
3.      Analisis lah lapis norma menurut Roman Ingarden pada puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail!

D.  Tujuan
1.      Menjelaskan beberapa pengertian puisi menurut para ahli.
2.      Menjelaskan perbedaan antara prosa dan puisi.
3.      Mendeskripsikan lapis norma Ingarden pada puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail.





PEMBAHASAN
A.  Pengertian Puisi
Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Sebagai salah satu genre sastra, puisi memiliki kekhasan tersendiri yakni penggunaan bahasanya yang tidak seperti bahasa percakapan sehari-hari (bahasa tingkat satu), namun menggunakan bahasa tingkat dua (konotatif).
Banyak sekali pengertian puisi yang didefinisikan oleh para ahli, seperti menurut Arthur Asa Berger dalam bukunya “Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer” mengungkapkan bahwa puisi merupakan susunan dalam bentuk yang lebih khusus, setiap baris puisi biasanya diberi identitasnya sendiri-sendiri (Berger, 2010: 121). Jika kita membaca buku dan melihat sebuah tulisan dengan tata letak yang berbeda, kita akan langsung menyebutnya puisi, karena ini adalah ciri khas puisi. Penulisan puisi tidak akan ditulis rata seperti prosa pada umumnya. Dalam hal ini, Berger memberikan contoh sebuah puisi yang berjudul “Frisbee”.
Jika penulisan puisi “Frisbee” ini ditulis dalam bentuk prosa, maka tidak akan terlihat puisi. Berikut sajaknya: Saya bertanya Matahari Neptunis, Pluto – Kenapa engkau menempatkan Merkurius di tempat Uranis?- Dia tidak menjawab saya. Jika diamati dengan benar, maka hal ini akan membingungkan pembaca karena tidak tau maksudnya apa? Namun, jika tulisan tersebut ditata sedemikian rupa dalam penulisannya, maka pembaca pasti akan tahu bahwa ini adalah sebuah puisi. Berikut penulisannya yang sesuai dengan bentuk penulisan untuk puisi.

Frisbee
Saya bertanya
Matahari Neptunis
Pluto
Kenapa engkau menempatkan
Merkurius di tempat Uranis
Dia tidak
menjawab saya.
A.A.B


Berger mengatakan bahwa puisi sebagai suatu tanda, karena seni penyusunan huruf dalam puisi merupakan tanda bagi para pembaca untuk mengenalinya sebagai puisi. Tanpa membaca isinya atau gaya bahasanya, pembaca sudah mengetahui bahwa itu merupakan puisi, dilihat dari bentuknya.
Menurut Rachmat Joko Pradopo, puisi merupakan sebuah karya seni sastra yang dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya (Pradopo, 2012: 3). Puisi dapat dikaji dari berbagai bermacam-macam aspek karena puisi terdiri atas struktur yang kompleks dan sarana-sarana kepuitisan. Karena itu, puisi dapat dikaji dari segi jenis-jenis puisinya, keanekaragamannya, serta sejarahnya.
Banyak sekali masyarakat awam yang belum memahami apa itu puisi. Apalagi puisi sekarang tidak terikat oleh rima dan irama seperti puisi dahulu. Puisi dan prosa, kini kita sulit membedakan antara keduanya. Ada puisi yang mirip dengan prosa. Namun ada pula prosa yang berbentuk seperti puisi. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen milik Eddy D. Iskandar berikut.
Air Selokan
“ Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit”, katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
+
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lahi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
(Perahu Kertas, 1983: 18)
Dan di bawah ini merupakan cerpen Eddy D. Iskandar.
Nah
Nah, karena sesuatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai sesepuh.
(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka pada uang kotor dan perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).

(Horison, Th.XI, Juni 1976: 185)

Jika dilihat dari segi bentuknya, sajak “Air Selokan” dan cerpen “Nah” tidak ada bedanya. Bahkan mungkin ada yang mengatakan kalau “Nah” itu merupakan sajak atau puisi. Melihat contoh di atas, puisi dan prosa hampir tidak ada perbedaan. Dari sini, kepekaan pembaca terhadap karya sastra lah yang menentukan makna dari karya sastra tersebut.
Ada lagi pengertian puisi menurut Wirjosoedarmo. Di SMA, puisi biasa didefinisikan sebagai karangan yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk karangan bebas (Pradopo, 2012: 5). Menurut Wirjosoedarmo, puisi merupakan karangan yang terikat oleh banyaknya baris dalam tiap bait, banyaknya kata dalam setiap baris, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan rima, serta irama. Namun pengertian puisi menurut Wirjosoedarmo, kini sudah tidak berlaku lagi. Karena karya sastra (dalam hal ini puisi) telah mengalami perkembangan yang sesuai dengan selera pembaca.
Berikutnya pengertian puisi menurut Shelly. Menurut Shelly, puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Peristiwa-peristiwa yang menjadi rekaman detik-detik yang paling indah tidak hanya yang membahagiakan, tetapi juga yang mengharukan seperti kematian orang-orang yang kita cintai.
Dari semua pengertian puisi menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan karya sastra yang memiliki nilai estetika dalam setiap isinya, dan puisi merupakan pengalaman yang dirasakan oleh pengarang dalam kehidupannya.

B.  Perbedaan Puisi dengan Prosa
Puisi dan prosa, sama-sama bagian dari genre sastra. Namun demikian, puisi dan prosa memiliki banyak perbedaan. Prosa merupakan karya sastra yang membentuk cerita bebas, serta tidak terikat oleh rima, sedangkan puisi merupakan genre sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan irama, serta penysunannya dalam baris dan bait.
Perbedaan puisi dan prosa terdapat pada bentuknya. Puisi memiliki bentuk yang lebih padat jika dibandingkan dengan prosa. Hal ini dikarenakan puisi hanya terdiri atas beberapa bait saja namun sudah mencakup isi dari tema yang diambil. Tidak seperti prosa yang menggunakan berbagai macam penjelasan panjang serta terdiri atas banyak kalimat yang jika ditulis bisa mencapai berlembar-lembar.
Selain itu, puisi menggunakan bahasa tingkat kedua atau bahasa yang bermakna konotatif. Karena dalam puisi, bahasa yang digunakan bukan lah bahasa percakapan sehari-hari. Bahasa yang digunakan dalam puisi bisa memiliki makna yang berbeda dari makna aslinya dalam bahasa percakapan sehari-hari. Misalnya kata “menari” dalam potongan puisi Toto Sudarto Bachtiar “Pusat” yang berbunyi Kata-kata yang bersayap bisa menari. Dalam hal ini, kata “menari” biasanya digunakan oleh manusia yang menggerakan anggota tubuhnya sesuai dengan bunyi atau musik yang mengiringinya. Selain itu, kata “bersayap” juga biasanya digunakan kepada binatang yang memiliki kemampuan untuk terbang. Namun dalam penggalan puisi di atas, kata “menari” diberikan kepada “kata-kata yang bersayap”, sedangkan “kata-kata” merupakan benda abstrak yang dalam realitanya tidak memiliki sayap, apalagi bisa menari.
Ini lah yang dimaksud dengan puisi menggunakan bahasa tingkat kedua yang bermakna konotatif, bukan bahasa tingkat pertama yang bermakna denotatif. Puisi memiliki nilai estetika serta mengandung unsur-unsur kepuitisan. Ada lagi perbedaan puisi dengan prosa, yakni dari segi isinya. Puisi memiliki berbagai macam penafsiran, tergantung pada pola pikir sang pembaca. Dalam hal ini, isi puisi bersifat multitafsir, sedangkan isi prosa lebih bersifat lugas dan jelas karena banyak penggambaran yang terperinci dari setiap pokok kalimat.
Ada pula yang mengatakan bahwa prosa dan puisi itu ibarat orang berjalan dan menari. Prosa seperti orang berjalan karena pembawaannya datar atau biasa saja, sedangkan puisi seperti orang menari karena pembawaannya yang lemah lembut atau bisa juga dengan gerak cepat namun masih menggunakan gerakan-gerakan yang indah. Atau dapat pula mengumpamakan prosa seperti orang yang berbicara karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa sehari-hari yang tidak terikat oleh irama dan rima, sedangkan puisi seperti orang bernyanyi karena ada penjedaan, kata yang dibaca dengan nada tinggi atau rendah, serta terikat oleh rima dan irama yang menambah nilai estetika puisi.
Puisi pada umumnya merupakan pengalaman pribadi pengarang atau curahan hati pengarang terhadap apa yang tengah dirasakannya, agar semua orang merasakan apa yang tengah dirasakan oleh pengarang. Hal ini berarti puisi menggunakan ekspresi kreatif, yakni pengalaman yang dilahirkan oleh pengarang diekspresikan dengan menggunakan media bahasa yang indah, serta mengandung nila-nilai keindahan atau estetika. Di samping itu, prosa sendiri menggunakan metode ekspresi konstruktif yang berarti bahwa pengalaman yang dilahirkan oleh pengarang diekspresikan dengan menggunakan media bahasa juga, tetapi dengan gaya bahasa yang biasa sesuai dengan bahasa sehari-hari dan disusun dengan menggunakan plot atau alur cerita.

C.  Analisis Puisi “Kerendahan Hati” Karya Taufik Ismail
Berikut adalah puisi karya Taufik Ismail yang berjudul “Kerendahan Hati”.

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
Rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Taufik Ismail
            Puisi seharusnya dipahami sebagai struktur norma, karena karya sastra terutama puisi tidak hanya terdiri atas satu lapis norma saja, tetapi terdiri atas beberapa lapis norma. Dalam bukunya, Rene Wellek menyatakan bahwa lapis norma dalam karya sastra ada tiga, yakni lapis bunyi, lapis arti, dan lapis dunia pengarang. Namun, Roman Ingarden menambahkan dua lapis norma lagi yang membentuk karya sastra, yakni lapis dunia dan lapis metafisis. Berikut adalah lapis norma Ingarden dalam puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail.
1.        Lapis Bunyi (Sound Stratum)
Lapis bunyi (sound stratum) merupakan lapis pertama dalam karya sastra. Lapis bunyi digambarkan saat kita mendengarkan seseorang untuk membaca puisi. Hal yang didengar oleh kita adalah rangkaian bunyi yang dapat dibatasi oleh penjedaan, nada panjang atau pendek. Semua satuan bunyi dan kesesuaian bunyi yang diucapkan sesuai dengan konvensi bahasa tertentu (dalam hal ini bahasa Indonesia) yang disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan arti merupakan hal yang terdapat dalam lapis bunyi.
Dalam puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail ini, lapis bunyi yang digunakan adalah aliterasi dan asonansi. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi, sedangkan asonansi merupakan perulangan bunyi vokal dalam deretan kata. Aliterasi yang digunakan adalah bunyi konsonan K, M, L, T, J, N, D dan R, sedangkan asonansi yang digunakan adalah bunyi vokal A, I dan U.
Penggunaan bunyi konsonan K, terdapat pada baris pertama pada bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, baris pertama pada bait ke dua yang berbunyi Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, baris pertama pada bait ke tiga yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, baris kedua pada bait keempat yang berbunyi Tentu harus ada awak kapalnya, baris ketiga pada bait keempat yang berbunyi Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi.
Penggunaan bunyi konsonan M, terdapat pada baris pertama pada bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, baris keempat bait ketiga yang berbunyi Membawa orang ke mata air. Penggunaan bunyi konsonan L terdapat pada baris ketiga bait pertama yang berbunyi Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, dan baris kedua bait ketiga yang berbunyi Jadilah saja jalan kecil.
Penggunaan bunyi konsonan T terdapat pada baris kedua bait pertama yang berbunyi Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang, dan baris kedua bait kedua yang berbunyi Yang tegak di puncak bukit. Penggunaan bunyi konsonan J terdapat pada baris kedua bait ketiga yang berbunyi Jadilah saja jalan kecil.. Penggunaan bunyi konsonan N terdapat pada baris ketiga bait kedua yang berbunyi Memperkuat tanggul pinggiran jalan. Penggunaan bunyi konsonan D terdapat pada baris pertama bait keempat yang berbunyi Tidaklah semua menjadi kapten. Dan penggunaan bunyi konsonan R terdapat pada baris keenam bait keempat yang berbunyi Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.
Penggunaan bunyi vokal A terdapat pada baris pertama bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, baris pertama bait kedua yang berbunyi Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, dan baris kedua bait kedua yang berbunyi Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang. Penggunaan bunyi vokal I terdapat pada baris ketiga bait pertama yang berbunyi Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, dan baris keenam bait keempat yang berbunyi Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri. Penggunaan bunyi vokal U terdapat pada baris pertama pada bait pertama yang berbunyi Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, dan baris pertama bait kedua yang berbunyi Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar.

2.        Lapis Arti (Units of Meaning)
Lapis arti (units of meaning) merupakan gabungan dari satuan yang terkecil hingga yang terbesar yang bergabung menjadi sebuah cerita. Dalam bait pertama puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail berisi mengenai nasihat akan kemampuan seseorang yang tidak bisa menjadi seperti pohon beringin yang tegak di puncak bukit atau hidup dengan menjadi seorang pemimpin. Bait kedua berisi mengenai jika kita tidak bisa menjadi seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, kita bisa menjadi diri kita sendiri yang berguna bagi orang lain. Bait ketiga memiliki arti bahwa kita bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain meski kita tidak memiliki sesuatu untuk bisa diberikan, sedangkan bait keempat memiliki arti bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. Karena jika ada pemimpin, maka harus ada yang dipimpin. Yang menjadikan diri kita bermartabat bukan lah besar kecilnya tugas yang kita lakukan, tetapi menjadikan diri kita bermanfaat untuk orang lain.

3.        Lapis Dunia Pengarang
Lapis ketiga berisi mengenai objek-objek yang dikemukakan dalam puisi, pelaku, latar, dan dunia pengarang. Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail ini adalah beringin, belukar, rumput, jalan raya, jalan setapak, kapten, awak kapal dan dirimu. Pelaku atau tokohnya adalah kamu atau engkau. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang (Pradopo, 2012: 18). Lapis dunia pengarang dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail adalah sebagai berikut.
Kamu seharusnya memiliki kerendahan hati. Meskipun kamu tidak bisa menjadi seorang pemimpin, namun kamu masih bisa menjadi anak buah atau pegawai yang bekerja dengan maksimal dan membawa manfaat bagi semua orang. Tidak perlu lah kamu berangan-angan untuk menjadi orang yang memiliki kedudukan tinggi, cukup kamu jalani apa yang sedang menjadi milik kamu. Karena yang terpenting adalah bukan menjadi seperti orang lain, tetapi menjadi diri sendiri yang membawa manfaat bagi orang lain.

4.        Lapis Dunia
Lapis dunia yang tampak dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail adalah sebagai berikut.
Jika kamu tidak bisa menjadi orang besar yang memiliki kedudukan tinggi, jadilah orang biasa yang baik. Jika kamu tidak bisa menjadi orang biasa yang baik, kamu bisa menjadi orang yang melindungi orang-orang yang kamu sayang. Jika kamu tak bisa mempunyai banyak teman, kamu bisa berteman dengan seseorang yang bisa kamu ajak menuju jalan kebaikan. Tidak bisa semua orang menjadi pemimpin, karena harus ada anak buahnya. Yang menentukan kualitas diri kita bukan lah tinggi rendahnya kedudukan kita di masyarakat tetapi kemampuan kita untuk menjaid pribadi yang rendah hati dan baik hati.

5.        Lapis Metafisis
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Pradopo, 2012: 19). Dalam puisi “Kerendahan hati” karya Taufik Ismail ini, lapis metafisisnya berupa sifat manusia yang jarang bersyukur, karena masih menginginkan kedudukan yang lebih tinggi lagi agar bisa menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat. Padahal jika kita menjadi diri sendiri dan mengoptimalkan usaha kita untuk menjadi bermanfaat di masyarakat bisa kita lakukan tanpa harus menjadi orang yang memiliki kedudukan tinggi. Seringkali manusia melalaikan tugasnya dan tidak bersyukur atas apa yang telah dimilikinya. Sajak ini mengingatkan kita untuk bersikap rendah hati, selalu bersyukur dan menjalani peran kita di masyarakat dengan sebaik-baiknya.

PENUTUP

Simpulan
Puisi merupakan merupakan karya sastra yang memiliki nilai estetika dalam setiap isinya, dan puisi merupakan pengalaman yang dirasakan oleh pengarang dalam kehidupannya. Prosa dan puisi memiliki perbedaan, meskipun sekarang puisi dan prosa cukup sulit untuk dibedakan. Perbedaan prosa dan puisi adalah jika prosa seperti orang berjalan karena pembawaannya datar atau biasa saja, sedangkan puisi seperti orang menari karena pembawaannya yang lemah lembut atau bisa juga dengan gerak cepat namun masih menggunakan gerakan-gerakan yang indah. Atau dapat pula mengumpamakan prosa seperti orang yang berbicara karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa sehari-hari yang tidak terikat oleh irama dan rima, sedangkan puisi seperti orang bernyanyi karena ada penjedaan, kata yang dibaca dengan nada tinggi atau rendah, serta terikat oleh rima dan irama yang menambah nilai estetika puisi.
Lapis norma pertama Roman Ingarden tentang puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail adalah lapis bunyi aliterasi dan asonansi. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi, sedangkan asonansi merupakan perulangan bunyi vokal dalam deretan kata. Aliterasi yang digunakan adalah bunyi konsonan K, M, L, T, J, N, D dan R, sedangkan asonansi yang digunakan adalah bunyi vokal A, I dan U.
Lapis keduanya berisi mengenai nasihat akan kemampuan seseorang yang tidak bisa menjadi seperti pohon beringin yang tegak di puncak bukit atau hidup dengan menjadi seorang pemimpin. Bait kedua berisi mengenai jika kita tidak bisa menjadi seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, kita bisa menjadi diri kita sendiri yang berguna bagi orang lain. Bait ketiga memiliki arti bahwa kita bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain meski kita tidak memiliki sesuatu untuk bisa diberikan, sedangkan bait keempat memiliki arti bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. Karena jika ada pemimpin, maka harus ada yang dipimpin. Yang menjadikan diri kita bermartabat bukan lah besar kecilnya tugas yang kita lakukan, tetapi menjadikan diri kita bermanfaat untuk orang lain.
Lapis ketiga berisi mengenai objek-objek yang dikemukakan seperti beringin, belukar, rumput, jalan raya, jalan setapak, kapten, awak kapal dan dirimu. Pelaku atau tokohnya adalah kamu atau engkau, sedangkan lapis keempat berisi mengenai lapis dunia yang tampak secara implisit, yakni tidak mungkin bisa semua orang menjadi pemimpin, karena harus ada anak buahnya. Yang menentukan kualitas diri kita bukan lah tinggi rendahnya kedudukan kita di masyarakat tetapi kemampuan kita untuk menjaid pribadi yang rendah hati dan baik hati. Lapis kelima berisi mengenai sifat manusia yang jarang bersyukur, karena masih menginginkan kedudukan yang lebih tinggi lagi agar bisa menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo, Rahmat. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Asa Berger, Arthur. 2010. Pengantar Semiotika – Tanda-tanda dalam Kebudayaan Temporer. Yogyakarta: Tiara Wacana


IMPLEMENTASI EYD

IMPLEMENTASI PEDOMAN EYD DALAM SKRIPSI MAHASISWA SASTRA INDONESIA UNSOED PERIODE 2011-2013


Dosen Pengampu       : Dr. Tyas Retno Wulan, M.Si
 Dr. Rawuh Edy Priyono

Disusun Oleh              : Purnama Okto Vinali         (F1G012019)



Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memenuhi Mata Kuliah
Metode Penelitian Sosial

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN
JURUSAN ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PURWOKERTO
2014


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .....................................................................................................................  ii
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ........................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah ..................................................................................................  2
C.     Tujuan ....................................................................................................................  2
D.    Manfaat ..................................................................................................................  2
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Unsur Penelitian .....................................................................................................  3
B.     Penelitian Terdahulu............................................................................................... 3
C.     Kerangka Teori ......................................................................................................  4
D.    Ejaan Yang Disempurnakan ..................................................................................  5
E.     Skripsi ....................................................................................................................  7
F.      Redundasi ..............................................................................................................  7
G.    Penggunaan Tanda Koma ......................................................................................  7
H.    Akronim ...............................................................................................................  10
I.       Konjungsi .............................................................................................................  13
J.       Afiks di- dan Kata Depan di ................................................................................  17
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Metode Penelitian ................................................................................................  18
B.     Fokus Penelitian ...................................................................................................  18
C.     Sumber Data ........................................................................................................  18
D.    Teknik Pengumpulan Data ...................................................................................  18
E.     Teknik Analisis Data ............................................................................................  19
PEMBAHASAN .............................................................................................................  20
PENUTUP
Simpulan ..........................................................................................................................  28

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................  29

PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
            Bahasa merupakan alat komunikasi. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan para pemakainya. Perkembangan bahasa yang baik adalah yang mengikuti sistemnya. Apabila aturan tersebut tidak diikuti dengan baik oleh para pemakainya, maka bahasa tersebut akan semakin kacau, tidak teratur, tidak terarah dan berbeda-beda penggunaannya diantara masing-masing pemakai.
            Tujuan seseorang mempelajari bahasa adalah supaya dia mampu membahasakan pikiran, ide atau gagasannya kepada orang lain. Begitu pula dengan warga negara Indonesia yang harus mempelajari bahasa nasionalnya, yakni bahasa Indonesia. Namun, tidak semua warga negara Indonesia mengetahui penggunaan bahasa Indonesia yang benar sesuai dengan aturan kebahasaan sekarang.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan negara Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan dalam situasi formal, misal dalam dunia akademisi seperti yang disebutkan pada pasal 25 ayat 3 UU No. 24 tahun 2009 mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Misalnya penggunaan kata biarin, dengerin, perhatiin, dan sebagainya merupakan kata yang tidak baku dalam bahasa Indonesia. Namun, masyarakat masih menggunakannya, bahkan terkadang ada mahasiswa Sastra Indonesia yang menggunakan kata-kata tersebut dalam kegiatan akademik. Padahal, bahasa Indonesia adalah kajian pembelajaran mereka. Namun, mereka masih menggunakan bahasa informal dalam kegiatan berdiskusi atau presentasi di depan kelas (kegiatan akademik).
Selain itu, saat mengumpulkan tugas yang berbentuk makalah, struktur dan sistematika yang dibuat terkadang asal-asalan karena waktu mengerjakannya yang biasanya mendekati batas waktu atau memang karena belum memahami struktur makalah yang baik dan benar. Dari peristiwa tersebut, penulis juga membaca beberapa skripsi atau proposal mahasiswa Sastra Indonesia yang memiliki kesalahan dalam penggunaan tanda baca, penulisan gabungan kata, penggunaan huruf kapital, dan sebagainya. Melihat fenomena tersebut, penulis berharap hasil penelitian ini dapat dibaca oleh masyarakat luas, terutama mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jenderal Soedirman, sehingga mereka mengetahui ejaan dan penulisan baku yang digunakan saat ini. Juga supaya mereka lebih bersikap teliti dalam setiap penulisan karya ilmiahnya.

B.       Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.    Bagaimanakah implementasi  EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia?
2.    Sejauh mana pemahaman mahasiswa Sastra Indonesia terhadap EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dilihat dari penulisan skripsinya?

C.      Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Menggambarkan implementasi EYD dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia.
2.      Menjelaskan pemahaman mahasiswa Sastra Indonesia terhadap EYD dilihat dari penulisan skripsinya.
D.      Manfaat
Peneliti berharap laporan penelitian ini dapat membantu mahasiswa lain agar dapat lebih memahami penggunaan EYD yang sesuai. Peneliti juga berharap agar mahasiswa yang berada pada semester akhir menggunaan KBBI, Pedoman EYD dan Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia sebagai referensi dalam penulisan skripsinya.



TINJAUAN PUSTAKA
A.      Unsur Penelitian
Penelitian merupakan serangkaian cara yang digunakan secara sistematis untuk menghasilkan pengetahuan. Cara-cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi dua tahap. Tahap yang pertama adalah tahap teorisasi. Tahap teorisasi dilakukan peneliti dengan cara menentukan konsep dan teori yang akan digunakan. Tahap yang ke dua adalah tahap empirisasi. Pada tahap ini, peneliti mulai menentukan variabel dan hipotesis. Ke dua tahap ini harus dilakukan jika jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kuantitatif. Namun karena dalam penelitian ini peneliti mnggunakan jenis penelitian kualitatif, maka tahap ke dua tidak dibutuhkan.
Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. Konsep harus didefinisikan secara tepat agar tidak terjadi kesalahan dalam melihat realitas sosial. Konsep terbagi menjadi dua jenis, yakni konsep yang nyata dan konsep yang abstrak. Konsep nyata berhubungan dengan kejadian atau realitas sosial yang dapat diamati secara langsung, sedangkan konsep abstrak (construct) menunjukkan keadaan atau realita sosial yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi daripada konsep nyata.
Jika jarak antara konsep atau construct dengan fakta atau aktivitas empiris yang ingin digambarkan semakin besar, maka kemungkinan terjadinya salah pengertian atau salah penggunaan juga akan semakin besar. Konsep harus memiliki variasi nilai. Konsep dari penelitian ini adalah ‘Pedoman EYD’.
Paradigma merupakan pedoman dasar penelitian. Paradigma yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif.  Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian deskriptif. Peneliti menggunakan jenis penelitian ini karena peneliti hendak menggambarkan kesalahan-kesalahan penggunaan EYD dalam bidang akademik, terutama mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jenderal Soedirman.

B.       Penelitian Terdahulu
Setiap peneliti pasti memiliki acuan laporan penelitian yang telah dilakukan orang-orang sebelumnya. Penelitian terdahulu harus dicantumkan oleh peneliti dalam laporannya. Hal ini dilakukan sebagai tindakan pencegahan terhadap plagiat akan karya tulis yang telah dibuat. Selain itu, penelitian terdahulu juga dicantumkan agar pembaca mengetahui bahwa penelitian yang dilakukan memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Berikut adalah penelitian terdahulu yang mengkaji masalah implementasi EYD.
No.
JUDUL PENELITIAN /
NAMA
METODE
PENELITIAN
KONSEP /
VARIABEL
HASIL
1.
KETEPATAN PENGGUNAAN EYD
PADA SURAT KABAR DAERAH
DI WILAYAH TASIKMALAYA /
Wagiati, M.Hum.
Deskriptif
Penggunaan EYD
Kesalahan penggunaan EYD pada surat kabar Radar Tasikmalaya dan Priangan tampak pada penggunaan tanda baca, huruf, dan pemakaian kata.
2.
ANALISIS KESALAHAN EYD DALAM SURAT UNDANGAN DINAS DI KANTOR KECAMATAN PENINJAUAN KABUPATEN OKU/
Samsul Anam
Deskriptif analitif
Kesalahan EYD
Kesalahan pada penggunaan huruf kapital, penulisan ‘di’ dan ‘di-‘, gabungan kata, singkatan, dan pemakaian tanda baca.
3.
PENERAPAN EJAAN YANG DISEMPURNAKAN DALAM PENULISAN KATA SERAPAN DARI BAHASA ARAB /
Dr. Yayan Nurbayan
Deskriptif analitik
Penerapan EYD
Kata-kata dalam karangan siswa yang dianalisis sebanyak 7347 kata. Dari kata-kata tersebut kata serapan yang berasal dari bahasa Arab sebanyak 81 kata. Para siswa yang benar dalam penulisan kata-kata tersebut
sebanyak 76,1 % (58 kata).
4.
IMPLEMENTASI PEDOMAN EYD DALAM SKRIPSI MAHASISWA SASTRA INDONESIA PERIODE 2011-2013 /
Purnama Okto Vinali
Deskriptif analitik
Pedoman EYD


C.      Kerangka Teori
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan hasrat seluruh rakyat Indonesia (Hadidarsono dan Kusnaeni, 2012: 31). Penggunaan bahasa Indonesia seharusnya dilakukan dengan baik dan benar serta penuh kebanggaan. Hal ini dilakukan agar bahasa Indonesia bisa menjadi alat komunikasi yang dapat memperkokoh persatuan san kesatuan bangsa, serta dapat mendukung pembangunan bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia memiliki dua ragam, yakni ragam baku dan ragam tak baku. Ragam baku biasanya digunakan untuk situasi resmi atau formal baik dalam penulisan maupun dalam pengucapan, sedangkan ragam tak baku akan digunakan pada situasi yang nonformal. Ragam bahasa tulis baku memiliki norma atau kaidah yang dinyatakan secara tertulis dalam bentuk Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan.
Teori yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah peraturan mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, penulis juga menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 46 tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, serta penulis juga menggunakan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan".
D.      Ejaan Yang Disempurnakan
Menurut Arifin dan Tasai (2009: 164), “Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antar hubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa)”. Menurut Darma dan Kosasih (2009: 82), “Ejaan merupakan peraturan yang menyangkut huruf, kata, unsur serapan dan keseluruhan sistem dan peraturan penulisan bunyi bahasa untuk mencapai keseragaman”. Selanjutnya menurut Muslich (2008: 136), “Ejaan adalah keseluruhan peraturan penggambaran bunyi-bunyi bahasa dengan standarisasi kaidah tulis menulis”.
Ejaan yang disempurnakan atau yang dikenal sebagai EYD merupakan acuan dasar penulisan karya ilmiah yang digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia. EYD biasanya digunakan dalam karya tulis yang bersifat formal dan ilmiah. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan ejaan. Ejaan yang pertama dilakukan pada tahun 1901. Ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin ini disebut Ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini dirancang oleh van Ophuijsen yang dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Pada Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo tahun 1938, sudah disinggung tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia. Namun, keadaan dunia yang penuh kemelut sampai pecahnya Perang Dunia II hal itu tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1947 dibentuklah panitia dengan ketuanya Mr. Soewandi yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Hasil dari panitia ini terwujudlah nama Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi (Subayan, 1).
Ejaan Soewandi ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947. Perubahan ke tiga terjadi pada 16 Agustus 1972. Setelah bertahun-tahun digunakan, Ejaan Republik secara sah digantikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) oleh Presiden Soeharto. Ejaan ini lah yang kini masih digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia.
Ejaan Yang Disempurnakan menjadi pedoman umum penulisan karya tulis ilmiah. Meskipun demikian, banyak kalangan berpendidikan yang masih kurang menguasai EYD. Hal ini menyebabkan laporan karya ilmiah yang ditulis seperti tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh penulis. Pada kenyataannya, kemampuan penulis untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang sesuai dengan EYD-lah yang masih minim.
Hal ini terjadi pada mahasiswa semester akhir yang hendak menulis skripsi. Banyak mahasiswa yang menyepelekan pedoman EYD. Mereka mengalami kesulitan dalam hal penulisan karya ilmiah yang formal dan sesuai dengan EYD. Kesulitan mereka terjadi karena pemahaman yang kurang mengenai aturan penggunaan EYD, serta sikap yang kurang peduli terhadap bahasa formal.
Penulisan skripsi yang merupakan salah satu jenis karya tulis ilmiah seharusnya disesuaikan dengan EYD. Pedoman EYD yang ada jarang digunakan dengan baik oleh mahasiswa. Mereka lebih mengandalkan asumsi dasar yang mereka ketahui daripada mencari dari sumbernya sendiri. Ini lah yang menyebabkan penulisan dalam skripsi maupun proposal penelitian sering salah.
Kesalahan dalam penggunaan EYD sebagian besar merupakan kesalahan editorial. Mahasiswa khususnya mahasiswa Sastra Indonesia seharusnya mengetahui bentuk-bentuk penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan pedoman EYD. Namun pada kenyataannya, banyak mahasiswa Sastra Indonesia yang kurang memahami penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan EYD.

E.       Skripsi
Skripsi adalah laporan tertulis hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dengan bimbingan dosen pembimbing skripsi untuk dipertahankan di hadapan penguji skripsi sebagai syarat untuk memperoleh derajat sarjana. Selain itu, ada pula yang menyebutkan bahwa skripsi merupakan karya tulis ilmiah berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seoerang mahasiswa sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana.
Skripsi pada dasarnya sama dengan tesis dan disertasi, yakni digunakan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar. Namun bedanya, jika skripsi digunakan pada jenjang S1, maka tesis untuk jenjang S2 dan disertasi untuk jenjang S3. Selain itu, perbedaan skripsi dengan tesis dan disertasi terdapat pada kemandirian penulis. Jika dalam skripsi kemandirian penulis hanya sekitar 60% karena yang 40% merupakan peran pembimbing, maka pada tesis sekitar 80% dengan 20% peran pembimbing, sedangkan untuk disertasi, peran penulis sebanyak 90% dan peran pembimbing hanya 10%.
F.       Redundasi
Istilah redundasi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’ (Abdul Chaer, 2009: 105).ada pula yang mengatakan bahwa redundasi adalah kalimat yang berlebihan dan menyalahi aturab gramatikal. Misalnya pada kalimat “Dia mencuci tangannya agar supaya bersih”. Kalimat tersebut merupakan kalimat redundasi. Penggunaan kata “agar” juga sudah cukup, tidak perlu menambahkan kata “supaya”, atau memilih salah satunya karena kedua kata itu memiliki makna yang hampir sama. Jadi, kalimat yang benar adalah “Dia mencuci tangannya agar bersih”.
G.      Penggunaan Tanda Koma
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan", penggunaan tanda koma dilakukan pada situasi berikut.
1.         Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan perangko.
2.         Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
Misalnya:
• Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
• Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
3.         Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat, jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
• Kalau hari hujan, saya tidak akan datang.
• Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
• Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
• Dia lupa akan janjinya karena sibuk.
• Dia tahu bahwa soal itu penting.
4.         Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
• ... Oleh karena itu, kita harus berhati-hati.
• ... Jadi, soalnya tidak semudah itu.
5.         Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
• Hati-hati, ya, nanti jatuh.
6.         Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya:
• Kata Ibu, "Saya gembira sekali."
• "Saya gembira sekali," kata Ibu, "karena kamu lulus."
7.         Tanda koma dipakai di antara
(i) nama dan alamat,
(ii) bagian-bagian alamat,
(iii) tempat dan tanggal, dan
(iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.

Misalnya:
(i)       Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba 6, Jakarta.
(ii)     Sdr. Abdullah, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
(iii)   Surabaya, 10 mei 1960
(iv)   Kuala Lumpur, Malaysia
8.         Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949 Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
Jilid 1 dan 2. Djakarta: PT Pustaka Rakjat.
9.         Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
Misalnya:
W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang
(Yogyakarta: UP Indonesia, 1967), hlm. 4.
10.     Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.
11.     Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
Rp12,50
12.     Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya
• Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
• Di daerah kami, misalnya, masih banyak orang laki-laki yang makan sirih.
• Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti latihan
paduan suara.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma:
Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.
13.     Tanda koma dapat dipakai untuk menghindari salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
• Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang
bersungguh-sungguh.
• Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan terima kasih.
Bandingkan dengan:
• Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh dalam pembinaan dan
pengembangan bahasa.
• Karyadi mengucapkan terima kasih atas bantuan Agus.
14.     Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
"Di mana Saudara tinggal?" tanya Karim.
"Berdiri lurus-lurus!" perintahnya.
H.      Akronim
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan", penggunaan akronim adalah sebagai berikut.
1.    Singkatan ialah bentuk singkat yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
a.    Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu.
Misalnya:
A.H. Nasution Abdul Haris Nasution
W.R. Supratman Wage Rudolf Supratman
M.B.A. master of business administration
M.Si. magister sains
S.E. sarjana ekonomi
S.Sos sarjana sosial
S.Kom sarjana komunikasi
S.K.M. sarjana kesehatan masyarakat
Bpk. bapak
Sdr. saudara
Kol. kolonela
b.    Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
WHO World Health Organization
PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia
PT perseroan terbatas
SD sekolah dasar
KTP kartu tanda penduduk
c.    Singkatan kata yang berupa
1)   Gabungan huruf diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
jml. jumlah
kpd. kepada
tgl. tanggal
hlm. halaman
yg. yang
dl. dalam
No. nomor
2)   Singkatan gabungan kata yang terdiri atas tiga huruf diakhiri dengan tanda titik.
Misalnya:
dll. dan lain-lain
dsb. dan sebagainya
dst. dan seterusnya
sda. sama dengan atas
ybs. yang bersangkutan
Yth. Yang terhormat
Catatan:
Singkatan itu dapat digunakan untuk keperluan khusus, seperti dalam
pembuatan catatan rapat dan kuliah.
d.   Singkatan gabungan kata yang terdiri atas dua huruf (lazim digunakan dalam surat menyurat) yang masing-masing diikuti oleh tanda titik.
Misalnya:
a.n. atas nama
d.a. dengan alamat
u.b. untuk beliau
u.p. untuk perhatian
e.    Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda dengan titik.
Misalnya:
Cu kuprum
cm sentimeter
kg kilogram
kVA kilovolt-ampere
l liter
Rp rupiah
TNT trinitrotoluene
2. Akronim ialah singkatan dari dua kata atau lebih yang diperlakukan sebagai sebuah kata.
a.    Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal unsur-unsur nama diri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia
SIM surat izin mengemudi
b.    Akronim nama diri yang berupa singkatan dari beberapa unsur ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
Bulog Badan Urusan Logistik
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Iwapi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia
Kowani Kongres Wanita Indonesia
c.    Akronim bukan nama diri yang berupa singkatan dari dua kata atau lebih ditulis dengan huruf kecil.
Misalnya:
pemilu pemilihan umum
iptek ilmu pengetahuan dan teknologi
rapim rapat pimpinan
rudal peluru kendali
tilang bukti pelanggaran
radar radio detecting and ranging
Catatan:
Jika pembentukan akronim dianggap perlu, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut.
1.      Jumlah suku kata akronim tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata).
2.      Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa Indonesia yang lazim agar mudah diucapkan dan diingat.
I.         Konjungsi
1.    Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, konjungsi ini selalu memulai satu kalimat yang baru dan huruf pertamanya ditulis dengan huruf Kapital.
Macam-macam konjungsi antarkalimat :
a.    Konjungsi yang menyatakan pertentangan dengan yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya. Konjungsi pertentangan meliputi kata biarpun demikian, biarpun begitu, sekalipun demikian, sekalipun begitu, sesungguhnya, walaupun demikian, walapun begitu, meskipun demikian, dan  meskipun begitu.
Misalnya:
Saya tidak suka dengan cara dia berbicara. Walaupun demikian,saya harus tetap menghormatinya.
b.    Konjungsi yang menyatakan lanjutan dari peristiwa atau keadaan pada kalimat sebelumnya, seperti sesudah itu, setelah itu, dan selanjutnya.
Contoh :
Hari ini, yang akan saya pelajari adalah pelajaran bahasa Indonesia. Setelah itu, saya akan belajar Matematika.
c.    Konjungsi yang menyatakan adanya hal, peristiwa, atau keadaan lain di luar dari yang telah dinyatakan sebelumnya, seperti  tambahan pula, lagi pula, dan selain itu.
Contoh :
Kami menyambut tahun baru dengan kemeriahan kembang api. Selain itu, suara terompet juga ikut menambah semaraknya suasana tahun baru.
d.   Konjungsi yang menyatakan kebalikan dari yang dinyatakan sebelumnya, seperti sebaliknya.
Contoh :
Jangan lah kita membuang sampah di sungai ini! Sebaliknya, kita harus menjaganya agar tetap bersih untuk mencegah terjadinya banjir.
e.    Konjungsi yang menyatakan keadaan yang sebenarnya, seperti sesungguhnya dan bahwasanya.
Contoh :
Temanku mengalami kecelakaan tadi siang. Sesungguhnya, aku sudah mencegahnya untuk tidak mengendarai sepeda motor saat hujan tadi siang.
f.     Konjungsi yang menguatkan keadaan yang dinyatakan sebelumnya, seperti malahan dan bahkan.
Contoh :
Penduduk di Indonesia banyak yang mengalami masalah ekonomi. Bahkan, ada penduduk yang sampai bunuh diri karena masalah ekonomi tersebut.
g.    Konjungsi yang menyatakan pertentangan dengan keadaan sebelumnya, seperti namun dan akan tetapi.
Contoh :
Situasi di desa kami sudah cukup aman setelah terjadi gempa tadi pagi. Akan tetapi, pihak yang berwenang menyuruh warga agar tetap waspada karena ada kemungkinan terjadinya gempa susulan.
h.    Konjungsi yang menyatakan konsekuensi, seperti dengan demikian.
Contoh :
Kamu telah terpilih menjadi ketua kelas bulan ini. Dengan demikian, kamu harus menjalani tugasmu dengan sebaik-baiknya.
i.      Konjungsi yang menyatakan akibat, seperti oleh karena itu dan oleh sebab itu.
Contoh :
Aku sudah melarangnya untuk melakukan hal itu. Oleh karena itu, biarkan saja dia merasakan akibatnya.
j.      Konjungsi yang menyatakan kejadian yang mendahului hal yang dinyatakan sebelumnya, seperti sebelum itu.
Contoh :
Sukanto telah berhasil memecahkan rekornya sendiri dalam ajang SEA Games tahun ini. Sebelum itu, dia juga pernah memecahkan rekor atas namanya sendiri pada ajang SEA Games tiga tahun yang lalu.

2.    Konjungsi Intrakalimat
Konjungsi intrakalimat atau konjungsi antarklausa adalah konjungsi yang menghubungkan satuan-satuan kata dengan kata, frasa dengan frasa, dan klausa dengan klausa. Konjungsi ini dibagai menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut.
a.    Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih yang memiliki status sintaktis yang sama. Konjungsi ini juga bisa disebut dengan konjungsi setara. Abdul Chaer dalam bukunya Sintaksis Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua buah konstituen yang kedudukannya sederajat (2009: 82).
Macam-macam konjungsi koordinatif berdasarkan pernyataan mengenai klausanya, yakni sebagai berikut.
1)   Konjungsi penambahan atau penjumlahan, seperti dan, dengan, serta.
Contoh :
Aku membeli novel dan adikku membeli buku pelajaran.
2)   Konjungsi perlawanan, seperti tetapi, namun, sedangkan.
Contoh :
Kakakku sering mendapatkan juara tetapi aku tidak pernah sama sekali.
3)   Konjungsi pemilihan, seperti atau.
Contoh :
Adik mau makan ikan bakar atau ayam goreng?
4)   Konjungsi pembetulan, seperti melainkan, hanya.
Contoh :
Dia tidak apa-apa, hanya kelelahan.
5)   Konjungsi penegasan, seperti bahkan, malah (malahan), lagipula, apalagi, jangankan.
Contoh :
Anak itu memang sangat nakal. Bahkan, ibunya sendiri juga sering ditipu.
6)   Konjungsi pembatasan, seperti kecuali, hanya
Contoh :
Saya akan datang ke pestamu, kecuali kalau hujan turun.
7)   Konjungsi pengurutan, seperti lalu, kemudian, selanjutnya, setelah itu, sebelumnya.
Contoh :
Sebelum makan, dia mencuci tangan.
8)   Konjungsi penyamaan, seperti  yaitu, yakni, adalah, ialah.
Contoh :
Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia.
9)   Konjungsi penyimpulan, seperti jadi, karena itu, oleh sebab itu, maka, maka dari itu, dengan demikian, dengan begitu.
Contoh :
Jadi, dia datang terlambat karena terjebak macet.
b.    Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih yang memiliki status sintaktis yang tidak sama. Konjungsi ini juga bisa disebut dengan konjungsi bertingkat.
Macam-macam konjungsi subordinatif, yakni sebagai berikut.
1)        Konjungsi yang menyatakan waktu, seperti ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama, hingga, dan sampai.
Contoh :
Saya sedang makan ketika ayah datang.
2)        Konjungsi yang menyatakan syarat, seperti jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, dan manakala.
Contoh : 
Beritahu aku jika kau akan datang.
3)        Konjungsi yang menyatakan pengandaian, seperti andaikan, seandainya, andaikata, umpamanya, dan sekiranya.
Contoh :
Saya akan pintar, seandainya saya belajar.
4)        Konjungsi yang menyatakan tujuan, seperti agar, supaya, dan biar.
Contoh :
Tutuplah jendela itu agar tidak ada angin yang masuk.
5)        Konjungsi yang menyatakan konsesif, seperti biarpun, meskipun, sekalipun, walaupun, sungguhpun, dan kendatipun.
Contoh :
Aku akan pergi meskipun hari ini hujan.
6)        Konjungsi yang menyatakan pemiripan, seperti seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, sebagai, dan laksana.
Contoh :
Dia adalah wanita yang seolah-olah terlihat seperti pria.
7)        Konjungsi yang menyatakan sebab, seperti sebab, karena, dan oleh karena.
Contoh :
Andi dimarahi sebab dia tidak disiplin.
8)        Konjungsi yang menyatakan akibat, seperti hingga, sehingga, sampai(-sampai), dan maka(nya).
Contoh :
Gunung Merapi meletus sampai-sampai seluruh warga mengungsi.
9)        Konjungsi yang menyatakan penjelasan, seperti bahwa.
Contoh :
Agus berkata bahwa dia sudah mengerti.
c.    Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa dan kedua unsur itu memiliki status sintaktis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang dihubungkan.
Macam-macam konjungsi korelatif adalah sebagai berikut.
1)   Baik…maupun…
Contoh :
Baik Adit maupun Agi ingin kursus piano.
2)   Tidak hanya…, tetapi… juga…
Contoh :
Tidak hanya kehilangan rumah, tetapi ia juga kehilangan seluruh keluarganya. 
3)   Bukan hanya…, melainkan…
Contoh : 
Bukan hanya  buku LKS yang dia bawa, melainkan juga membawa buku latihan.
4)   (Se)Demikian (rupa)…, sehingga…
Contoh :
Kakaknya belajar demikian tekun, sehingga ia dapat peringkat pertama.
5)   Apa(kah)…atau…
Contoh :
Apakah dia berkata jujur atau tidak?
6)   Entah…entah…
Contoh :
Entah ditanggapi entah tidak, ia akan mengajukan usul itu.
7)   Jangankan…, …pun…
Contoh :
Jangankan teriak, berbicara pun suaranya tidak bisa keluar.

J.        Afiks di- dan Kata Depan di
Pada masa penggunaan ejaan Soewandi, awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang. Namun, setelah EYD digunakan, antara awalan di- dan kata depan di menjadi dibedakan penggunaaannya. Awalan di- digunakan untuk kata kerja yang bermakna dikenai tindakan, sedangkan kata depan di digunakan untuk menunjukkan suatu tempat. Penulisan kata depan di juga dipisah agar membedakan dengan afiks di-.


METODOLOGI PENELITIAN
A.      Metode Penelitian
Ilmu adalah suatu pengetahuan yang sistematik dan terorganisasi, sedangkan penelitian adalah sebuah investigasi sistematik yang dirancang untuk menghasilkan sebuah pengetahuan. Pengertian ilmu dan penelitian memiliki unsur yang sama, yakni “sistematik”. Menurut KKBI, sistematik merupakan susunan atau aturan. Sistematika yang digunakan dalam sebuah penelitian pada umumnya sama, yakni menggunakan teori dan metode.
Penggunaan teori dan metode dalam suatu penelitian akan menjadikan penelitian ini bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu atau untuk mengulas aspek teknis dalam suatupenelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik.
B.       Fokus Penelitian
Setiap penelitian harus memiliki batas-batas dari objek penelitiannya. Penelitian ini hanya difokuskan pada kesalahan penggunaan EYD dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jenderal Soedirman. Permasalahan mengenai alasan mahasiswa melakukan kesalahan penggunaan EYD dalam sripsinya, tidak termasuk dalam penelitian ini.
C.      Sumber Data
Penelitian ini akan menggunakan skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jenderal Soedirman sebagai objek penelitiannya. Namun tidak semua skripsi diteliti. Peneliti hanya akan mengambil beberapa skripsi yang dapat dijadikan sebagai sampel. Skripsi yang digunakan dimulai dari tahun 2011 hingga tahun 2013. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jenderal Soedirman tahun 2011 hingga tahun 2013.
D.      Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian. Jika dalam suatu penelitian tidak disertai data, maka penelitian tersebut masih dipertanyakan validitasnya. Hasil dari penelitiannya pun tidak akan bersifat objektif, sehingga tidak dapat dipertangunggjawabkan.
Teknik pengumpulan data merupakan susunan cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data dalam penelitiannya. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik sampling. Jenisnya adalah simple random sampling. Prof. DR. Sugiyono dalam bukunya “Statistika Untuk Penelitian” memasukkan simple random sampling dalam kelompok Probability Sampling (2013: 63).
Peneliti menggunakan jenis simple random sampling karena derajat keseragaman populasi yang kecil, yakni skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed tahun 2011 hingga 2013. Selain itu, objek yang diteliti juga homogen yakni mahasiswa yang sudah belajar bahasa Indonesia dan sastra Indonesia.
E.       Teknik Analisis Data
Data yang telah diperoleh di lapangan akan diolah. Teknik menganalisis data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara sebagai berikut.
1.    Mencari kesalahan penggunaan EYD pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed.
Kesalahan itu berupa kesalahan editorial penulis. Setelah mendapatkan data yang berupa kesalahan penulisan, peneliti akan melakukan tahap selanjutnya.
2.    Menganalisis kesalahan-kesalahan penggunaan EYD pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada.
3.    Menyimpulkan hasil analisis mengenai kesalahan-kesalahan penggunaan EYD pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia

PEMBAHASAN
Peneliti mengambil sampel beberapa skripsi dari angkatan tahun 2011 hingga 2013. Kesalahan editorial yang dilakukan oleh penulis merupakan hal yang mungkin tidak disadari karena kurangnya sikap teliti. Berdasarkan analisis peneliti terhadap skripsi mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2011, peneliti menemukan beberapa kesalahan editorial yang dilakukan oleh mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2011. Kesalahan-kesalahan tersebut terdapat pada editorialnya.
Kesalahan-kesalahan penggunaan EYD juga masih dilakukan oleh mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2012. Kesalahan yang dilakukan oleh angkatan sebelumnya seharusnya menjadi hal yang patut untuk diperbaiki oleh mahasiswa pada angkatan setelahnya. Namun pada kenyataannya, kesalahan itu juga masih terjadi pada angkatan angkatan setelahnya. Pada angkatan 2012, kesalahan-kesalahan penggunaan EYD masih ada, meskipun tidak banyak.
Kesalahan penggunaan EYD ternyata kurang diperhatikan oleh mahasiswa Sastra Indonesia. Mahasiswa angkatan 2013 seharusnya lebih baik dalam menulis skripsi karena banyak pelajaran yang dapat diambil jika mengamati skripsi-skripsi sebelumnya. Namun, kesalahan penggunaan EYD masih tetap ada dan bahkan lebih banyak daripada angkatan-angkatan sebelumnya.
Berikut adalah kesalahan-kesalahan penggunaan EYD dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2011 hingga 2013.
1.        Redundasi
Redundasi merupakan penggunaan unsur kalimat yang berlebihan karena memiliki makna yang hampir sama. Redundasi terjadi pada skripsi Aji Legowo dan Umi Ana Setiani, mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2013. Hal ini terdapat pada kutipan sebagai berikut.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 74-75) mengungkapkan tema adalah sebuah karya sastra fiksi yang merupakan satu dari sejumlah unsur pembangun cerita lain, yang secara bersama membentuksebuah keseluruhan (Legowo, 2013: 6).
Penggunaan kata “menurut” dan kata “mengungkapkan” merupakan redundasi dan menghilangkan unsur kehematan suatu kalimat. Kata “menurut” dan kata “mengungkapkan” memiliki makna yang hampir sama. Keduanya memiliki makna bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat pasif. Namun dalam kutipan di atas, kata “menurut” dan kata “mengungkapkan” yang memiliki makna sama digunakan secara bersama-sama dalam satu kalimat.

2.        Penggunaan Tanda Koma (,)
Penggunaan tanda koma ada beberapa macam. Salah satunya, tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan. Misalnya pada kalimat “Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan perangko”. Pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2013, penggunaan tanda koma masih kurang efektif. Berikut ada contoh kutipannya.
Sumber data sekunder yang digunakan berupa, buku-buku teori sastra, artikel, makalah ilmiah dan media cetak maupun internet yang relevan dan berkaitan dengan perumusan masalah, pada penelitian ini (Legowo, 2013: 11).
Penggunaan tanda koma pada kutipan di atas masih kurang tepat. Sebenarnya setelah kata “berupa” tidak perlu digunakan tanda koma. Juga setelah kata “masalah”. Penggunaan tanda koma setelah kata “berupa” dan kata “masalah” kurang tepat, karena tanda koma digunakan untuk membatasi unsur-unsur dalam suatu perincian. Kalimat di atas akan lebih baik jika diubah menjadi kalimat seperti berikut.
Sumber data sekunder yang digunakan berupa buku-buku teori sastra, artikel, makalah ilmiah, media cetak, serta sumber-sumber di internet yang relevan dan berkaitan dengan perumusan masalah pada penelitian ini.
3.        Penggunaan Kata Baku Lama
Perubahan ejaan yang berkali-kali pasti akan membingungkan pengguna bahasanya. Hal ini juga terjadi pada penulisan skripsi mahasiswa Sastra Indonesia. Banyak yang kurang mengetahui penulisan baku terkini. Ejaan lama yang digunakan oleh mahasiswa Sastra Indonesia adalah kata “Dzat”. Huruf “D” di awal kalimat menunjukkan bahwa ejaan yang digunakan adalah ejaan lama. Pada ejaan lama van Ophuijsen dan ejaan Soewandi, penulisan kata yang benar adalah “Dzat”. Namun pada EYD, penulisan kata yang tepat adalah “zat”. Hal ini dibuktikan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan kata “Dzat” tidak dapat ditemukan karena bukan kata baku. Penulisan kata “Dzat” untuk menunjukkan hakikat Allah digunakan oleh mahasiswa Sastra Indonesia. Selain itu, peneliti juga menemukan penulisan kata yang tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Berikut kutipannya.
... Kenyataan ini menyadarkan dia sebagai mahluk lemah, membawa kepada keyakinan akan adanya suatu Dzat yang kuasa sepenuhnya, yang dapat mengobati segala penyakit... (Legowo, 2013: 21).

4.        Penggunaan Akronim
Akronim digunakan untuk berbagai macam bentuk singkatan, salah satunya adalah akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Kesalahan penggunaan akronim juga terjadi pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2013. Kesalahan ini terdapat pada kutipan sebagai berikut.
Selesai salam Ayyas berdoa lagi sesuai, yang diajarkan Rasulullah Saw. Dalam doa ia meminta kepada Allah swt. Untuk kebaikan daerah ini, kebaikan penghuninya dan kebaikan yang ada di dalamnya, hamba berlindung kepadamu ya Allah dari buruknya daerah ini (Legowo, 2013: 29).
Pada kutipan di atas, banyak sekali kesalahan yang ditemukan oleh peneliti. Kesalahan ini meliputi penggunaan tanda koma, penggunaan akronim, penggunaan konjungsi intrakalimat, serta penggunaan huruf kapital. Penggunaan tanda koma yang benar seharusnya berada setelah kata “salam”, bukan setelah kata “sesuai”. Penggunaan akronim untuk shalawlaahu ‘alaihi wasalam seharusnya menggunakan huruf kapital semua menjadi “SAW”. Selain itu, singkatan untuk subhaanahu  wa ta‘ala seharusnya menjadi “SWT”.
Penggunaan konjungsi  “untuk” seharusnya untuk intrakalimat atau masih dalam kalimat yang sama, bukan diletakkan di awal kalimat. Pada kata “kepadamu”, peneliti mengetahui bahwa kata ganti (-mu) ditujukan untuk Allah SWT. Namun, dalam kutipan di atas, kata ganti (-mu) menggunakan huruf kecil. Padahal seharusnya menggunakan huruf kapital dan diberi tanda hubung sebelum kata ganti untuk Allah SWT, menjadi “kepada-Mu”. kalimat di atas juga menggunakan kalimat yang kurang efektif.
Kutipan di atas sebaiknya diganti menjadi sebagai berikut.
Selesai salam, Ayyas berdoa lagi sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW. Dalam doa, ia meminta kepada Allah SWT untuk kebaikan daerah ini, kebaikan penghuninya dan kebaikan yang ada di dalamnya. Ia juga meminta perlindungan kepada Allah SWT dari keburukan warga di daerah ini.
Kesalahan penggunaan akronim juga terjadi pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia yang lainnya. Kesalahan ini terdapat pada kalimat “Ia lahir bersamaan dengan pengumuman deklarasi pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)... (Ana Setiani, 2013: 29)”.
PRRI merupakan akronim dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Jika penulisannya seperti kutipan di atas, maka akronimnya menjadi RRI, bukan PRRI.
5.        Penggunaan Konjungsi Intrakalimat
Konjungsi atau kata hubung masih kurang dipahami dengan baik oleh sebagian mahasiswa Sastra Indonesia. Hal ini terbukti pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2013. Konjungsi intrakalimat digunakan untuk mengawali kalimat, sedangkan konjungsi antarkalimat digunakan dalam satu kalimat yang sama. Berikut contoh kutipannya.
... Membawa kepada keyakinan akan adanya suatu Dzat yang kuasa sepenuhnya, yang dapat mengobati segala penyakit. Yang dapat menghidupkan serta yang tidak terbatas kekuasaannya. Yang kekal abadi tidak terkalahkan oleh kematian, sebab Dialah pencipta kematian. Dialah Tuhan! Dialah Allah, Tuhan seru sekalian alam... (Legowo, 2013: 21).
Kata konjungsi “yang” merupakan konjungsi intrakalimat. Kata “yang” tidak seharusnya diletakkan di awal kalimat. Selain itu, penggunaan partikel “lah” juga seharusnya dipisah dengan kata yang mendahuluinya. Jika si penulis masih menginginkan menggunakan kalimat di atas, maka sebaiknya diganti menjadi seperti berikut.
... Membawa kepada keyakinan akan adanya suatu Zat yang kuasa sepenuhnya, yang dapat mengobati segala penyakit, dapat menghidupkan, serta tidak terbatas kekuasaannya. Dia yang kekal abadi dan tidak terkalahkan oleh kematian. Karena Dia lah pencipta kematian. Dia lah Tuhan! Dia lah Allah, Tuhan seru sekalian alam...
6.        Penggunaan Konjungsi Antarkalimat
Jika di atas tadi disebutkan kesalahan penggunaan konjungsi intrakalimat, maka kini tinggal kesalahan penggunaan konjungsi antarkalimat. Kesalahan ini terdapat pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2013. Berikut kutipannya.
Kemudian bagian selanjutnya adalah bagian yang berjudul Cinta Terakhir? Bagian ini menceritakan kehidupan Enrico yang diselimuti percintaannya dengan para perempuan. Ia merasa sepi, namun ia juga tetap ingin menjadi manusia bebas... (Ana Setiani, 2013: 36).
Kata “namun” merupakan salah satu konjungsi antarkalimat. Penggunaan konjungsi antarkalimat seharusnya berada di awal kalimat. Namun pada kutipan di atas, kata “namun” digunakan untuk menggabungkan dua klausa setara. Penggunaan konjungsi yang benar seharusnya diganti dengan konjungsi “tetapi”, sehingga pembenaran kalimat yang benarnya menjadi “Ia merasa sepi, tetapi ia juga tetap ingin menjadi manusia bebas”. Berikut adalah pembenaran dari kutipan di atas.
Kemudian bagian selanjutnya adalah bagian yang berjudul Cinta Terakhir? Bagian ini menceritakan kehidupan Enrico yang diselimuti percintaannya dengan para perempuan. Ia merasa sepi, tetapi ia juga tetap ingin menjadi manusia bebas...
Selain itu, ada pula kesalahan penggunaan konjungsi antarkalimat pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia tahun 2011. Berikut kutipannya.
Walaupun keduanya disampaikan pengarang kepada pembaca secara langsung melalui tokoh maupun dialognya, namun pembaca sering tidak merasakan tema dan amanat itu, pembaca sering tidak merasakan diperlakukan demikian karena tidak dapat memahami tema dan amanat yang disampaikan pengarang secara implisit (ada makna lain) (Seftia Fransisca, 2011: 21).
Konjungsi “namun” merupakan konjungsi antarkalimat, sehingga jika penulis menghendaki kalimat yang dibuat merupakan kalimat majemuk setara, maka konungsi yang digunakan seharusnya “tetapi”. Berikut pembenaran dari kutipan di atas.
Walaupun keduanya disampaikan pengarang kepada pembaca secara langsung melalui tokoh maupun dialognya, tetapi pembaca sering tidak merasakan tema dan amanat itu. Pembaca sering tidak merasakan diperlakukan demikian karena tidak dapat memahami tema dan amanat yang disampaikan pengarang secara implisit (ada makna lain).
7.        Penggunaan Huruf Kapital
Penulisan huruf kapital dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia, masih ada yang kurang tepat. Misalnya pada kutipan berikut.
Dari sisi sosiologis Syrnie digambarkan sebagai seorang Ibu yang beragama Nasrani, namun setelah kematian sanda Anak perempuannya, ia mulai menganut aliran Seksi Yehuwa. Ia lahir di Kudus dari pasangan Saleh Ibrahim yang menganut Agama Islam dan Sarah yang berpindah aliran agama dari Agama Islam menjadi Kristen... (Ana Setiani, 2013: 45)
Huruf kapital digunakan untuk sapaan dan nama orang. Pada kalimat tersebut, kata “ibu” jelas bukan untuk menyapa, sehingga tidak perlu menggunakan huruf kapital. Sanda merupakan nama orang, sehingga harus ditulis kapital. Namun pada kutipan di atas, yang menggunakan huruf kapital justru kata “anak”.
Selain itu, penulisan agama, bahasa, dan suku bangsa seharusnya menggunakan huruf kapital pada nama agama, bahasa, maupun suku bangsa tersebut. Penulisan “Agama Islam” kurang tepat. Penulisan yang tepat adalah “agama Islam”. Jika kutipan di atas diperbaiki, maka seharusnya menjadi seperti berikut.
Dari sisi sosiologis, Syrnie digambarkan sebagai seorang ibu yang beragama Nasrani. Namun setelah kematian Sanda, anak perempuannya, ia mulai menganut aliran Seksi Yehuwa. Ia lahir di Kudus dari pasangan Saleh Ibrahim yang menganut agama Islam dan Sarah yang berpindah aliran agama dari agama Islam menjadi Kristen...
Contoh lain penggunaan huruf kapital yang kurang tepat terdapat pada skripsi tahun 2012. Kesalahan ini terdapat pada kalimat ”Seperti kalangan waria di kota Tegal ini yang sering berkumpul di Stasiun kereta api”. Penulisan kata “stasiun” tidak perlu menggunakan huruf kapital, kecuali akan menyebutkan nama stasiunnya. Penulisan yang tepat adalah “di stasiun kereta api”.
Huruf kapital juga diterapkan di awal kalimat, juga pada awal kalimat setelah penomoran. Namun pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia, awal kalimat setelah penomoran tidak menggunakan huruf kapital. Misalnya pada kalimat berikut.
1.      mendeskripsikan tindak tutur yang digunakan
2.      mendeskripsikan implikatur, dan seterusnya.
Penulisan kata “mendeskripsikan” kurang tepat. Penulisan yang tepat adalah “Mendeskripsikan”, sebab kata “Mendeskripsikan” digunakan di awal kalimat.
8.        Penulisan Istilah Asing
Istilah asing dalam bahasa Indonesia ditulis dengan menggunakan huruf miring, kecuali istilah asing yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Namunpada kenyataannya, penulisan istilah asing sering diabaikan oleh mahasiswa, apalagi istilah asing yang sering mereka dengar. Padahal istilah asing yng sering didengar belum tentu sudah didaptasi ke dalam bahasa Indonesia, sehingga dalam penulisannya sering salah. Kesalahan penulisan istilah asing terdapat pada kutipan sebagai berikut.
Kebutuhan neurotik dalam diri Enrico antara lain (1) kebutuhan kasih sayang dan penerimaan, (2) kebutuhan partner yang bersedia mengambil alih kehidupannya, dan (3) kebutuhan mencukupi diri sendiri dan independensi... (Ana Setiani, 2013: 93).
Penulisan kata “partner” seharusnya miring, karena kata “partner” masih merupakan istilah asing yang belum diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Penulisannya yang tepat adalah “partner”.
Selain itu, meskipun istilah asing yang digunakan merupakan bahasa daerah di wilayah Indonesia, tetapi tetap ditulis miring dalam penulisannya. Namun, penulisannya masih harus tetap miring. Misalanya pada kalimat berikut “... Prokem jengkles sebenarnya diambil dari bahasa Jawa yaitu dari kata jengkel yang berarti ‘marah’ ” (Asriani, 2012: 39).
Perbaikan kalimat itu menjadi “... Prokem jengkles sebenarnya diambil dari bahasa Jawa yaitu dari kata jengkel yang berarti ‘marah’ ”
9.        Penulisan Gabungan Kata
Penulisan gabungan kata juga masih menjadi kendala bagi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed. Penulisan gabungan kata yang dirangkai atau dipisah cenderung membingungkan mahasiswa. Hal ini terbukti dari penulisan skripsi mahasiswa Sastra Indonesia yang memiliki kesalahan penulisan dalam penggabungan kata. Kesalahan penulisan gabungan kata ini terdapat pada kalimat ”... Kecemasan yang tidak rasional ini biasanya disebabkan oleh ketakutan individu akan ketidak mampuan diri...” (Ana Setiani, 2013: 18).
Penulisan kata “ketidak mampuan” yang benar adalah dirangkai menjadi “ketidakmampuan”, sehingga penulisan yang benar dalam kalimat adalah sebagai berikut.
... Kecemasan yang tidak rasional ini biasanya disebabkan oleh ketakutan individu akan ketidakmampuan diri...
10.    Penulisan Afiks Di-
Sejak EYD diterapkan, banyak perubahan-perubahan yang terjadi dari ejaan sebelumnya. Salah satunya adalah penulisan afiks dan kata depan di- ditulis berbeda dari ejaan sebelumnya. Penulisan di- sebagai afiks ditulis serangkai dengan kata yang diberi afiks, sedangkan penulisan di- sebagai kata depan ditulis memisah dengan kata yang mengikutinya. Kesalahan penulisan ini terjadi pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia. Berikut kutipannya.
... Ragam tersebut mengandung daya informatif persuasif yang secara konsensus harus memilih kata yang dapat dimengerti oleh masyarakat. Disamping memiliki daya informatif persuasif, ragam bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas yang menjadi karakteristiknya, yaitu singkat, lancar, padat, sederhana, lugas, dan menarik... (Nurdin, 2011: 1).
Penulisan kata “disamping” seharusnya dipisah karena di yang menempel pada kata samping merupakan kata depan, bukan afiks. Penulisannya yang benar adalah “di samping”.
Skripsi merupakan karya ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa semester akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Penulisan skripsi bukan lah hal yang mudah karena butuh ketelitian dan usaha yang keras untuk bisa memperoleh skripsi yang tepat penulisannya. Skripsi merupakan salah satu jenis karya ilmiah yang dalam penulisannya menggunakan ragam bahasa tulis baku.
Salah satu syarat penggunaan bahasa Indonesia ragam tulis baku adalah mengaplikasikan pedoman EYD secara tepat. Implementasi EYD dalam penulisan karya ilmiah membutuhkan ketelitian dan kejelian penulis. Jika penulis mengabaikan sikap teliti dalam melakukan penulisan, maka yang kemungkinan bisa terjadi adalah karya ilmiahnya kurang sesuai dengan EYD.
Berdasarkan penelitian terhadap penggunaan EYD dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed tahun 2011 hingga tahun 2013, masih banyak kesalahan penggunaan EYD yang terdapat pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed. Kesalahan-kesalahan itu berupa redundasi, kesalahan penggunaan tanda koma, kesalahan penulisan akronim, penggunaan ejaan lama, kesalahan penggunaan konjungsi intrakalimat dan antar kalimat,  kesalahan penulisan huruf kapital, kesalahan penulisan gabungan kata, kesalahan penulisan istilah asing dan kesalahan penulisan afiks dan kata depan di-.
Kesalahan penerapan EYD pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap pedoman penulisan baku kurang baik. Selain itu, sikap teliti yang dimiliki mahasiswa juga masih rendah. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh alumni sebelumnya hendaknya dapat dijadikan koreksi bagi mahasiswa angkatan selanjutnya yang tengah menempuh semester akhir.


PENUTUP
Simpulan
Ejaan yang disempurnakan atau yang dikenal sebagai EYD merupakan acuan dasar penulisan karya ilmiah yang digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia. EYD biasanya digunakan dalam karya tulis yang bersifat formal dan ilmiah.
Berdasarkan penelitian terhadap penggunaan EYD dalam skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed tahun 2011 hingga tahun 2013, masih banyak kesalahan penggunaan EYD yang terdapat pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed. Kesalahan-kesalahan itu berupa redundasi, kesalahan penggunaan tanda koma, kesalahan penulisan akronim, penggunaan ejaan lama, kesalahan penggunaan konjungsi intrakalimat dan antar kalimat,  kesalahan penulisan huruf kapital, kesalahan penulisan gabungan kata, kesalahan penulisan istilah asing dan kesalahan penulisan afiks dan kata depan di-.
Kesalahan penerapan EYD pada skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap pedoman penulisan baku kurang baik. Selain itu, sikap teliti yang dimiliki mahasiswa juga masih rendah. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh alumni sebelumnya hendaknya dapat dijadikan koreksi bagi mahasiswa angkatan selanjutnya yang tengah menempuh semester akhir.



DAFTAR PUSTAKA
Hadidarsono, Kusneni & Subandi. 2012. Buku Ajar Bahasa Indonesia. Purwokerto: Tim UPT Percetakan dan Penerbitan Unsoed.
Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Pamungkas.           . Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan: EYD. Surabaya: Apollo Lestari.
Recha Seftia Fransisca. 2011. “Tinjauan Tema dan Amanat dalam Kumpulan Cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie Layun Rampon”, skripsi pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jendral Soedirman.
Abdillah Nurdin. 2011. “Implikatur Wacana Iklan Kampanye Parpol Peserta Pemilu 2009”, skripsi pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jendral Soedirman.
Wahyu Asriyani. 2012. “Prokem Pada Kalangan Waria di Kota Tegal”, skripsi pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jendral Soedirman.
Nani Mardiani. 2012. “Mobilitas Sosial dalam Novelet Mahkota Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, skripsi pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jendral Soedirman.
Aji Legowo. 2013. “Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, skripsi pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jendral Soedirman.
Umi Ana Setiani. 2013. “Analisis Kejiwaan Tokoh Utama Nocel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami, skripsi pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jendral Soedirman.